Pemerataan dan Kualitas Pendidikan di Indonesia
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut bukti yang tercatat di UNESCO tahun 1999 tentang peringkat Human Development Indeks Indonesia menepati peringkat ke 109 dari 174 negara. Kondisi ini terus menurun hingga tahun 2011 sekarang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
3. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
4. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
5. Rendahnya Kualitas Guru
6. Rendahnya Kesejahteraan Guru
7. Rendahnya Prestasi Siswa
8. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
9. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
10. Mahalnya Biaya Pendidikan
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi lebih baik lagi.
Peserta didik di Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Berikut adalah fakta-fakta pendidikan untuk anak perempuan :
FAKTA 1: Pemerintah Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945 terus mengembangkan system pendidikannya, dan wajib belajar 9 tahun1 dicanangkan sebagai kebijakan nasional pada tahun 1994.
FAKTA 2: Hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)2 mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender.
FAKTA 3: Di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), APM turun menjadi 61,6 persen, dan rasio untuk anak perempuan sedikit lebih tinggi (62,4 persen) daripada untuk anak laki-laki (60,9 persen).
FAKTA 4: Anak yang tinggal di daerah perkotaan (71,9 persen) lebih banyak yang belajar di SLTP dibandingkan dengan yang tinggal di daerah pedesaan (54,1 persen).
FAKTA 5: Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen).
FAKTA 6: Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.3 Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
FAKTA 2: Hampir semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, masuk sekolah dasar (SD), dan Angka Partisipasi Murni (APM)2 mencapai 93 persen pada tahun 2002, dan belum terlihat jelas adanya kesenjangan jender.
FAKTA 3: Di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), APM turun menjadi 61,6 persen, dan rasio untuk anak perempuan sedikit lebih tinggi (62,4 persen) daripada untuk anak laki-laki (60,9 persen).
FAKTA 4: Anak yang tinggal di daerah perkotaan (71,9 persen) lebih banyak yang belajar di SLTP dibandingkan dengan yang tinggal di daerah pedesaan (54,1 persen).
FAKTA 5: Jika dilihat dari pendapatan keluarga, jumlah anak bersekolah dari setiap kelompok keluarga terpaut jauh. Penduduk dengan pendapatan terendah yang jumlahnya 20 persen dari seluruh penduduk memiliki APM yang jauh lebih rendah (49,9 persen) dibandingkan dengan 20 persen penduduk berpendapatan tertinggi (72,2 persen).
FAKTA 6: Data Departemen Pendidikan memperlihatkan adanya kesenjangan jender yang signifikan antara jumlah anak laki-laki dan anak perempuan yang putus sekolah di tingkat SD maupun SLTP.3 Kemungkinan anak perempuan untuk putus sekolah lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SD, dari 10 anak yang putus sekolah, 6 di antaranya anak perempuan dan 4 lainnya anak laki-laki. Demikian halnya di SLTP. Kesenjangan gender antara murid laki-laki dan perempuan yang putus sekolah sedikit lebih tinggi di sekolah lanjutan atas, yaitu 7 anak perempuan dibandingkan 3 anak laki-laki (Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
FAKTA 7: Sekitar 1,8 juta anak SD berusia 7 – 12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13 – 15 tahun, tidak bersekolah (SUSENAS, 2002).
FAKTA 8: Dari data angka pindah sekolah bisa dilihat bahwa anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang meneruskan pendidikan mereka dari SD ke SLTP. Jumlah anak laki-laki yang melanjutkan dari SD ke SLTP (83 persen) sedikit lebih tinggi - meskipun tidak mencolok - dibandingkan anak perempuan (81 persen). Perbedaan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, yaitu dari SLTP ke sekolah menengah umum (SMU), sedikit lebih besar – walaupun tetap tidak signifikan (73 persen untuk anak laki-laki dan 69 persen untuk anak perempuan).
FAKTA 9: Jumlah mereka di kelompok usia 15 – 24 tahun yang bisa baca-tulis selama sepuluh tahun terakhir masih tetap tinggi: 96,6 persen pada tahun 1992 dan 98,8 persen pada 2002. Perbedaan angka pria dan wanita yang bisa membaca dan menulis seperti yang terlihat dalam indeks kesetaraan jender (gender parity index) sebesar 97,9 persen pada tahun 1992 dan 99,8 persen pada tahun 2002.
FAKTA 10: Sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia yang berusia 15 – 19 tahun mempunyai paling sedikit satu pandangan yang salah tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar istilah AIDS.
FAKTA 8: Dari data angka pindah sekolah bisa dilihat bahwa anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berpeluang meneruskan pendidikan mereka dari SD ke SLTP. Jumlah anak laki-laki yang melanjutkan dari SD ke SLTP (83 persen) sedikit lebih tinggi - meskipun tidak mencolok - dibandingkan anak perempuan (81 persen). Perbedaan jumlah anak laki-laki dan perempuan yang meneruskan pendidikan ke tingkat selanjutnya, yaitu dari SLTP ke sekolah menengah umum (SMU), sedikit lebih besar – walaupun tetap tidak signifikan (73 persen untuk anak laki-laki dan 69 persen untuk anak perempuan).
FAKTA 9: Jumlah mereka di kelompok usia 15 – 24 tahun yang bisa baca-tulis selama sepuluh tahun terakhir masih tetap tinggi: 96,6 persen pada tahun 1992 dan 98,8 persen pada 2002. Perbedaan angka pria dan wanita yang bisa membaca dan menulis seperti yang terlihat dalam indeks kesetaraan jender (gender parity index) sebesar 97,9 persen pada tahun 1992 dan 99,8 persen pada tahun 2002.
FAKTA 10: Sebanyak 85% anak perempuan di Indonesia yang berusia 15 – 19 tahun mempunyai paling sedikit satu pandangan yang salah tentang HIV/AIDS atau tidak pernah mendengar istilah AIDS.
Pemerintah Indonesia saat ini menjalankan kebijakan dan strategi pendidikan dasar di bawah ini:
- Kebijakan umum untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar
- Meningkatkan peluang bersekolah dan memperluas kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah, terutama bagi masyarakat miskin dan terpencil dengan akses sulit terjangkau.
- Meningkatkan kualitas dan nilai pendidikan dasar sehingga semua anak yang sudah
- menyelesaikannya akan memiliki kemampuan dasar untuk hidup atau untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi.
- Meningkatkan efisiensi manajemen sumber daya pendidikan dan membantu semua institusi pendidikan dasar untuk bisa menjalankan fungsinya dengan lebih efisien dan efektif.
- Mengupayakan agar lebih banyak anak yang bisa mengenyam pendidikan dasar, bersama dengan peningkatan mutu pendidikan dasar. Hal ini karena menyelesaikan pendidikan dasar berkaitan erat dengan upaya perbaikan kualitas.
- Kebijakan khusus untuk meningkatkan kesetaraan gender di bidang pendidikan mengenyam pendidikan yang berkualitas dan peka terhadap masalah jender; memperkecil jumlah penduduk usia dewasa yang buta aksara – terutama perempuan – dengan memperbaiki kinerja dalam pendidikan formal dan non-formal, program penyetaraan serta program pemberantasan buta huruf; dan yang peka terhadap masalah jender.
Kesimpulan
1. Pemerataan pendidikan di Indonesia belum berjalan secara maksimal. Masih banyak wilayah di Indonesia yang pendidikannya masih di bwah standar.
2. Telah banyak upaya yang dilkaukan oleh pemerintah untuk pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun, upaya-upaya tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga keinginan untuk memajukan pendidikan di Indonesia masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Saran
Hendaknya pemerintah lebih mengusahakan pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemantauan pendanaan dan distribusi barang dalam usaha pemerataan pendidikan harus lebih ditingkatkan
0 Response to "Pemerataan dan Kualitas Pendidikan di Indonesia"
Posting Komentar